DENGAN HATI berat aku tuliskan
cerita ini untuk kalian. Sudah sepatutnya cerita ini ditujukan pada kalian,
sebuah cerita yang memilukan dan menyedihkan. Kalian, yang terlahir dengan
harta dan tahta orangtua. Pernahkah membayangkan jika kalian terlahir dari
rahim ibu yang tidak punya apa-apa selain rasa syukur yang teramat berlebihan?
Apakah di antara kita ada yang bisa memilih akan terlahir dari rahim yang mana,
orangtua yang seperti apa dan tingkat kesenjangan sosial dikelas mana?
Tidakkah
kalian yang terlahir dibawah atap keluarga yang aman, bisa merasakan pilu hidup
yang dialami orang-orang disekitar kalian? yang setiap hari kalian santap hasil
jerih payahnya, hasil keringatnya, hasil usahanya yang tidak dibayar sesuai
dengan yang mereka kerjakan. Ya. Mereka para nelayan, petani, dan sejenis
mereka lainnya. Mungkin ada di antara mereka yang yatim–piatu, yang tidak
mendapat perlindungan dari rasa lapar yang paling menyiksa. Padahal, padi yang
mereka panen setiap harinya. Ladang yang mereka bajak setiap harinya adalah
sumber asupan pokok negara kita ini? Namun mengapa justru mereka-mereka sendiri
yang sulit memakan padi itu dalam bentuk nasi. Nasi yang dalam jumlah banyak, dan
berkualitas baik seperti yang mereka harapkan disetiap proses penggarapannya.
Yang mereka
makan adalah nasi yang belum pantas disebut nasi. Ditambahlagi, lauk-pauk yang
mereka makan tidak lebih banyak dan tidak lebih besar dari padi-padi dalam
segumpal genggam tangan. Kalian tahu yang aku maksud? Teri! Kalian mengerti? Lauk-pauk
yang mereka makan tidak pernah berkombinasi. Hanya nasi putih dan kumpulan teri
yang dimakan untuk dibagi-bagi dengan seisi rumah. Biasanya, terdiri atas ibu,
ayah, nenek, kakek, dan beberapa anak yang masih bisa dihitungan dengan jari.
Akan tetapi, kalian tahu sendiri jumlah anak hitungan jari jika ingin dikatakan
sedikit ya kisaran dua sampai tiga. Lah. Ini. Kasusnya beda lagi. Jumlah anak
hitungan jari mencapai lima sampai tujuh kepala. Bayangkan. Memakan nasi dengan
kumpulan teri yang dibagi-bagi.
Sayangnya,
bagaimana pun baik yang telah kalian peroleh dari kehidupan ini, masih ada saja
yang kalian rasa kurang. Sedangkan, mereka yang berada dalam kekurangan ingin
berbebas dari kekurang itu. Ralat bukan terbebas. Hanya butuh sedikit
keringanan. Kalian? Malah selalu ingin mendapatkan kemakmuran yang melimpah.
Yang hidup dalam kecukupan ingin lebih cukup lagi. Dari semua perasaaan kurang
itu, dari semua hasrat ingin mendapatkan kemakmuran yang melimpah itu, kalian
menghalalkan segala perbuatan. Bahkan, rela mengambil recehan-recehan dari
tangan petani, nelayan,dan sejenis mereka lainnya. Tak sadar? Sudah berapa program pemerintah yang mengatas
namakan bangsa dan Negara?
Sudah berapa
banyak kebijakan yang dibuat berdasarkan kepentingan rakyat? Namun sudah berapa
banyak juga program yang kalian jalankan kemudian kalian persulit prosedurnya?
Jika di antara mereka ingin membuat Kartu Jakarta Sehat saja misalnya kalian
buat rumit segala macam prosesnya, parahnya selalu saja ada kotak hijau
disamping petugas yang melayani. Kotak itu tak ubahnya sebuah basa-basi rakyat,
banyak diantara mereka kulihat memasukkan selembar uang dua ribu rupiah sampai
dengan dua puluh ribu rupiah kedalamnya alih-alih sebagai ucapan terimakasih
dan ataupun tidak enak hati. Sudahlah jangan basa-basi lagi personal ini. Kalau
memang tidak ada maksud mengambil recehan dari tangan mereka-mereka untuk apa
kalian letakan kotak hijau itu disamping meja kalian. Tidakkah itu kewajiban
kalian? Tidakkah gaji kalian dibayar include
untuk menangani masalah-masalah rakyat seperti ini.
Seluruh lapisan
masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Sayur-mayur. Lauk-pauk hasil tangkapan mereka jatuh ketangan pedangang dengan harga yang
tidak seberapa. Memang kehidupan disekitar mereka, hanya golongan pedagang yang
dapat hidup baik dari kemiskinan dan kelaparan itu. Sedangkan, mereka para
petani, nelayan dan semacam dari mereka. Masih butuh pekerjaan tambahan untuk
sekedar mengisi perut dan melanjutkan hidup yang ekspektasinya dalam hitungan
hari. Ada yang mencari tambahan dengan menjadi penenun batik, buruh, dan tukang
cuci ditetangganya sendiri. Batik yang mereka buat dengan modal orang lain kualitasnya
sangat terjamin. Sayangnya, mereka tak pernah punya cukup uang untuk membeli kain
mori;bahan baku batik yang berbuat dari kapas; yang harganya tak pernah bisa
mereka sanggupi. Untuk itu, mereka rela menjadi penenun batik dengan upah
paling sepuluh ribu sehari. Padahal, kalau mereka buat sendiri dengan modal
sendiri penghasilan yang mereka dapatkan bisa mencapai ratusan ribu.
Apa yang kalian
rasakan wahai orang-orang berdasi yang tak pernah melirik kehidupan rakyat
seperti mereka-mereka ini? Mengaku-aku bisa merasakan kehidupan mereka padahal
mengalami secara langsung saja tidak pernah. Baiknya kalian tidak perlu banyak
berorasi, segara buatkan mereka-mereka ini koperasi dengan persyaratan yang
benar-benar dapat mereka sanggupi. Bukan dengan persyaratan yang menurut
kalian;harus mereka sanggupi; Mengerti? Aku rasa ini solusi terbaik dalam
menangangi permasalah rakyat kecil seperti mereka-mereka ini.
Andai saja, aku
ini seorang wanita berusia matang dengan harta dan tahta ditangan seperti Ibu
Megawati Soekarno Putri. Aku pasti sudah melaksanakan apa-apa saja yang bisa
kulakukan untuk meringankan beban-beban mereka itu. Sayangnya, aku ini hanya wanita
belia yang belum mempunyai harta dan tahta. Aku hanya hidup dengan rangkaian
kata yang kubuat dari realita. Jangan tersingung mengapa aku menyebut satu nama
seperti diatas tadi, aku ini wanita yang baru mencicipi kepala dua, yang aku
tau sosok pemimpin wanita di negeri kita ini siapa lagi kalau bukan Kartini dan
Megawati.
Jakarta, 06 Juni
2015. Cerita ini dibuat atas pembicaraan kecil bersama Mas Lalu Hilman Afriandi
staff ahli DPD RI.