Jumat, 05 Juni 2015

(CERPEN) Beranjak Dari Realita

DENGAN HATI berat aku tuliskan cerita ini untuk kalian. Sudah sepatutnya cerita ini ditujukan pada kalian, sebuah cerita yang memilukan dan menyedihkan. Kalian, yang terlahir dengan harta dan tahta orangtua. Pernahkah membayangkan jika kalian terlahir dari rahim ibu yang tidak punya apa-apa selain rasa syukur yang teramat berlebihan? Apakah di antara kita ada yang bisa memilih akan terlahir dari rahim yang mana, orangtua yang seperti apa dan tingkat kesenjangan sosial dikelas mana?
            
    Tidakkah kalian yang terlahir dibawah atap keluarga yang aman, bisa merasakan pilu hidup yang dialami orang-orang disekitar kalian? yang setiap hari kalian santap hasil jerih payahnya, hasil keringatnya, hasil usahanya yang tidak dibayar sesuai dengan yang mereka kerjakan. Ya. Mereka para nelayan, petani, dan sejenis mereka lainnya. Mungkin ada di antara mereka yang yatim–piatu, yang tidak mendapat perlindungan dari rasa lapar yang paling menyiksa. Padahal, padi yang mereka panen setiap harinya. Ladang yang mereka bajak setiap harinya adalah sumber asupan pokok negara kita ini? Namun mengapa justru mereka-mereka sendiri yang sulit memakan padi itu dalam bentuk nasi. Nasi yang dalam jumlah banyak, dan berkualitas baik seperti yang mereka harapkan disetiap proses penggarapannya.

Yang mereka makan adalah nasi yang belum pantas disebut nasi. Ditambahlagi, lauk-pauk yang mereka makan tidak lebih banyak dan tidak lebih besar dari padi-padi dalam segumpal genggam tangan. Kalian tahu yang aku maksud? Teri! Kalian mengerti? Lauk-pauk yang mereka makan tidak pernah berkombinasi. Hanya nasi putih dan kumpulan teri yang dimakan untuk dibagi-bagi dengan seisi rumah. Biasanya, terdiri atas ibu, ayah, nenek, kakek, dan beberapa anak yang masih bisa dihitungan dengan jari. Akan tetapi, kalian tahu sendiri jumlah anak hitungan jari jika ingin dikatakan sedikit ya kisaran dua sampai tiga. Lah. Ini. Kasusnya beda lagi. Jumlah anak hitungan jari mencapai lima sampai tujuh kepala. Bayangkan. Memakan nasi dengan kumpulan teri yang dibagi-bagi.

Sayangnya, bagaimana pun baik yang telah kalian peroleh dari kehidupan ini, masih ada saja yang kalian rasa kurang. Sedangkan, mereka yang berada dalam kekurangan ingin berbebas dari kekurang itu. Ralat bukan terbebas. Hanya butuh sedikit keringanan. Kalian? Malah selalu ingin mendapatkan kemakmuran yang melimpah. Yang hidup dalam kecukupan ingin lebih cukup lagi. Dari semua perasaaan kurang itu, dari semua hasrat ingin mendapatkan kemakmuran yang melimpah itu, kalian menghalalkan segala perbuatan. Bahkan, rela mengambil recehan-recehan dari tangan petani, nelayan,dan sejenis mereka lainnya. Tak sadar?  Sudah berapa program pemerintah yang mengatas namakan bangsa dan Negara?

Sudah berapa banyak kebijakan yang dibuat berdasarkan kepentingan rakyat? Namun sudah berapa banyak juga program yang kalian jalankan kemudian kalian persulit prosedurnya? Jika di antara mereka ingin membuat Kartu Jakarta Sehat saja misalnya kalian buat rumit segala macam prosesnya, parahnya selalu saja ada kotak hijau disamping petugas yang melayani. Kotak itu tak ubahnya sebuah basa-basi rakyat, banyak diantara mereka kulihat memasukkan selembar uang dua ribu rupiah sampai dengan dua puluh ribu rupiah kedalamnya alih-alih sebagai ucapan terimakasih dan ataupun tidak enak hati. Sudahlah jangan basa-basi lagi personal ini. Kalau memang tidak ada maksud mengambil recehan dari tangan mereka-mereka untuk apa kalian letakan kotak hijau itu disamping meja kalian. Tidakkah itu kewajiban kalian? Tidakkah gaji kalian dibayar include untuk menangani masalah-masalah rakyat seperti ini.

Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Sayur-mayur. Lauk-pauk hasil tangkapan mereka jatuh ketangan pedangang dengan harga yang tidak seberapa. Memang kehidupan disekitar mereka, hanya golongan pedagang yang dapat hidup baik dari kemiskinan dan kelaparan itu. Sedangkan, mereka para petani, nelayan dan semacam dari mereka. Masih butuh pekerjaan tambahan untuk sekedar mengisi perut dan melanjutkan hidup yang ekspektasinya dalam hitungan hari. Ada yang mencari tambahan dengan menjadi penenun batik, buruh, dan tukang cuci ditetangganya sendiri. Batik yang mereka buat dengan modal orang lain kualitasnya sangat terjamin. Sayangnya, mereka tak pernah punya cukup uang untuk membeli kain mori;bahan baku batik yang berbuat dari kapas; yang harganya tak pernah bisa mereka sanggupi. Untuk itu, mereka rela menjadi penenun batik dengan upah paling sepuluh ribu sehari. Padahal, kalau mereka buat sendiri dengan modal sendiri penghasilan yang mereka dapatkan bisa mencapai ratusan ribu.
Apa yang kalian rasakan wahai orang-orang berdasi yang tak pernah melirik kehidupan rakyat seperti mereka-mereka ini? Mengaku-aku bisa merasakan kehidupan mereka padahal mengalami secara langsung saja tidak pernah. Baiknya kalian tidak perlu banyak berorasi, segara buatkan mereka-mereka ini koperasi dengan persyaratan yang benar-benar dapat mereka sanggupi. Bukan dengan persyaratan yang menurut kalian;harus mereka sanggupi; Mengerti? Aku rasa ini solusi terbaik dalam menangangi permasalah rakyat kecil seperti mereka-mereka ini.


Andai saja, aku ini seorang wanita berusia matang dengan harta dan tahta ditangan seperti Ibu Megawati Soekarno Putri. Aku pasti sudah melaksanakan apa-apa saja yang bisa kulakukan untuk meringankan beban-beban mereka itu. Sayangnya, aku ini hanya wanita belia yang belum mempunyai harta dan tahta. Aku hanya hidup dengan rangkaian kata yang kubuat dari realita. Jangan tersingung mengapa aku menyebut satu nama seperti diatas tadi, aku ini wanita yang baru mencicipi kepala dua, yang aku tau sosok pemimpin wanita di negeri kita ini siapa lagi kalau bukan Kartini dan Megawati.  

Jakarta, 06 Juni 2015. Cerita ini dibuat atas pembicaraan kecil bersama Mas Lalu Hilman Afriandi staff ahli DPD RI. 

Rabu, 13 Mei 2015

(FriendshipNeverEnds) Langkah Kaki



Tiga Belas Mei 2015, Cuaca cukup muram. Air hujan mengguyur jalan aspal daerah rumahku. Aku hampir mati gaya mensiasati hari ini. Hingga kuputuskan untuk menjelajahi dunia semu di depan layar lebar kegemaranku. Kalian pasti tau, ya laptop pribadiku.

Kucoba membuka beberapa situs mulai dari situs yang memuat tentang berita, sosial media, bahkan sampai situs porno yang tak sengaja muncul di layar lebarku. Ah, aku benci sekali ini hal ini. Selalu saja muncul situs atau iklan yang memuat gambar-gambar keji yang tak pantas di pertontoni. Akhirnya kuputuskan untuk mencari hal yang agak berbau manusiawi dan bernilai positif tinggi.

Kumulai dengan mengetik beberapa huruf di atas papan qwerty, kutuliskan kata ‘Lomba Menulis’ pada sudut kanan atas yang di lengkapi dengan symbol kaca pembesar. Kurasa semua orang hampir mengenali, symbol itu berarti “searching” dalam sebuah jaringan komunikasi. Nah, yang kubuka itu terdapat disalah satu jejaring sosial yang dinamakan Twitter.

Kemudian muncul lah beberapa link lomba menulis yang bisa ku ikuti namun sayangnya akun @nulisbuku dan @Tiket.com lebih menarik perhatianku. Padahal, deadline pengumpulan naskah yang tertera agaknya menyesakkan hati. Aku dituntut untuk menggerakan jemari di atas papan qwerty pada tanggal di hari ini, untuk sekedar menarasikan sebuah kisah persahabatan yang tak akan berakhir atau sebut saja dengan tema #FrienshipNeverEnds.
Ah, aku merasa kudet. Mengapa hari ini menjadi batas pengumpulan naskah yang terakhir kali? Sungguh ironi.
        
    Dengan itu, tanpa basa basi aku langsung mencari isnpirasi lewat berbagai tulisan cerita pendek yang sering kubaca. Dan sambil melihat beberapa gambar diriku dengan sahabat-sahabatku, namun aku tertarik pada satu gambar. Ya gambar sepasang kaki. Kuputuskan untuk menjadikan gambar itu inspirasi dalam menulis cerpen kali ini. Gambar itu adalah dua buah pasang kaki yang disampingnya terdapat dua buah tas wanita yang diletakan di pelataran alun-alun Bandung. Gambar itu ku ambil sendiri, alih-alih menjadi moment yang nantinya mungkin akan sangat berarti. Kedua pasang kaki itu adalah kaki yang sudah hampir tiga tahun berjalan beriringan. Singkatnya, kedua pasang kaki itu adalah kaki ku dan sahabat baikku. Aku menggenakan flatshoes berwarna merah dengan tas ilustrasi Marlyn Mondroe sedangkan sahabat ku mengenakan sepatu cats putih yang panjangnya sampai ke mata kaki dan tas berwarna hitam pekat ke gemarannya.

            Pernah aku mengunduh gambar ini ke instagram dan ku tambahi caption “Kemana kaki kita akan melangkah lagi?” ditambah hastag #Resolusi #Mahasiswa #2015 . Caption yang ku tulis bukan sekedar dereta kata yang tak bermakna. Aku sangat berharap kaki-kaki ini akan melangkah lebih jauh lagi, dengan biaya sendiri bukan lagi menadah pada kedua orang tua.

            Keberadaan ku di Bandung kala itu bukan sekedar untuk refreshing  semata. Melainkan kami mempunyai urusan yang agaknya perlu di prioritaskan. Kampus ku mempunyai program perkuliahan yang agak berbeda dengan kebanyakan kampus lain. Biasanya kampus lain mengadakan Magang Industri hanya satu kali selama perkuliahan tetapi kampusku mengadakan Magang Industri dua kali selama duduk di bangku perkuliahan. Dan ini cukup membuat kalut pikiranku, sebab magang industri yang kedua ini cukup panjang, yakni tiga bulan lamanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengajak sahabatku ini berkelana ke Bandung berdua saja, alih-alih melamar magang di Balai Bahasa Bandung.

            Namun, betapa cerobohnya kami saat itu. Hingga lupa memikirkan tempat yang akan kami huni selama berada disana.

“Tan, terus kita nginap dimana malam ini” Ujar sahabatku itu saat kami sudah menduduki kursi kereta kelas eksekutif.

“Oh iya, MasyaALLAH gak kepikiran. Main berangkat aja kita” Ujarku agak kaget.
Padahal saat itu jarum jam menunjukan pukul sembilan malam dan di perkirakan kami akan tiba di Bandung larut malam. Kira-kira dua jam setelah berangkatan itu. Memang, keberangkatan kami di Bandung tidak dipersiapkan matang-matang awalnya hanya terlontar biasa saja saat kami sedang bersama. Tanpa di duga, rencana berubah menjadi agak sakral dan dilaksanakan hari itu juga.

“Sudah, tidak usah dikuatirkan kalian langsung aja check in atas nama kamu” ujar seorang pria di sebuah telpon yang tengah ku genggam.

“Ah, terimakasih.. baiknya abang ku ini” saut ku pada pria di telpon itu.

“Jadi, malam ini kita di sponsori?” kata teman ku dengan sigap.
Suasana terkesan lebih tenang lepas itu tetapi tunggu dulu…beberapa pegawai kereta api menghampiri kami.

“maaf mba-mba kursi yang kalian duduki itu bukan milik kalian, silahkan pindah ke gerbong bisnis”

Ah, sial. Pegawai kereta api membuat kami agak malu hati. Kami pikir ini gerbong bisnis enggak taunya gerbong eksekutif. Suasanya berubah lagi, menjadi agak ramai dengan bunyi ketawa kami yang agaknya seperti suara ringkik kuda dimalam hari.

Esok hari pun tiba, kami langkahkan kaki menuju tempat yang sama sekali belum pernah aku pijaki. Balai Bahasa Bandung. Dengan agak sedikit nekat kami mencari nya dengan berjalan kaki, sebab kata kebanyakan pendudukan di kota ini, Balai Bahasa Bandung letaknya tak jauh dari hotel yang kami huni malam tadi.

            Sesampai disana, keringat mengalir dari ujung rambut sampai kaki. Dandanan yang tadinya rapih kini menjadi tak terkendali, agak basah dan kusut. Namun semua itu terbayar dengan sambutan hangat Ibu Kepala bidang Tata Usaha di Balai Bahasa Bandung. Permohonan Magang Industri kami di terima dengan senang hati. Ah, lega sekali.

Setelah itu kami melanjutkan langkah kaki menuju tempat-tempat wisata di kota ini, dengan menggunakan angkutan antar kota tentunya. Tak jarang kami dapati hal-hal lucu yang kami sendiri tak mengerti dan tak jarang kami berada di posisi moody. Namun tiga hari disana kami lalui dengan senang hati, meski berdua saja tak apa. Sebab aku tak butuh banyak teman untuk berjalan bersama kalau akhirnya saling sikut di sebuah persimpangan. Bagiku persahabatan tidak sama seperti cinta yang mudah guyah dan berubah-ubah hanya dengan beberapa perbedaan yang ada. Berbeda kulit, berbeda kelas sosial bahkan berbeda agama tak jadi kendala, asalkan tidak saling mengunjing satu sama lain dan memberikan senyum palsu saat-saat tertentu.  Aku hanya butuh gelak tawa yang tulus dalam sebuah persahabatan,  meski dengan siapapun berteman pasti mengalami fase sulit menyatukan diri. Setidaknya dengan Riri, aku seperti menemukan teman untuk mewujudkan resolusi ku di tahun ini. Ya, Riri adalah nama temanku yang ada didalam foto itu. Oh ya, resolusiku tahun ini adalah duduk di kursi sebuah perusahaan sebagai editor atau penulis handal, tentunya setelah aku dapati tali toga yang dipidahkan dari kiri ke kanan diberengi dengan gelar sarjana dibelakang namaku nanti. Lain itu, aku berharap persahabatan aku dan teman ku ini akan kekal sampai nanti. Meski banyak ketidak cocokan tak ku pungkiri. Namanya juga hidup banyak warna yang kerap tak solid tetapi disitulah nilai nya.

Kini, kami sudah sibuk dengan dunia kami sendiri. Tentunya dengan berbagai kesibukan menuju masa depan yang lebih baik. Lain waktu, kaki kami akan melangkah ke negeri sebrang dengan biaya sendiri. Jangan lupa di amini yaJ

Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dannulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .


#FriendshipNeverEnds

Sabtu, 09 Mei 2015

(Cermat) Wejangan

Saat menatap kearahnya aku selalu berkata dalam hati

“aku jatuh cinta padamu kekasih, bukan karena paras indahmu semata tapi caramu menjamuku, seleraku dimanja hingga asam urat dan koletrolpun tak pernah singgah. Aku bersyukur hidupku teratur karenamu.”

Kau tahu? Ibu mu itu waktu mudanya juga tak mahir menjamu, hanya saja ia mulai bertemu dengan pria tampan sepertiku dan mulai mempelajari teori memasak lewat nenekmu, dan hasilnya kurasakan sampai saat ini. Betapa bahagianya hidup tanpa penyakit kecil yang mengganggu gerak tubuhmu. Pria seusiaku kebanyakkan mempunyai sederet pantangan soal makanan tapi tidak berlaku untukku. Ditambah lagi, ibumu selalu mengingatkanku untuk tidak selalu menghisap gulungan nikotin seperti yang ada ditangan suamimu itu. Ajarkanlah suamimu hidup sehat anakku, mulai dari sekarang jangan tunggu nanti. Bukankah akan indah bila kelak kau hidup seperti kami ini? Tetap bersama-sama sampai rambut kalian berdua memutih ditelan waktu.

Karena perut itu pusat, penyakit asalnya dari perut. Untuk itu perut harus kita jaga dengan makanan sehat tidak hanya sedap. Makanlah makanan dan berikanlah anak dan suamimu makanan buatan tanganmu sendiri itu lebih baik, terjamin kebersihannya. Jadi wanita itu tak hanya harus cantik dan baik, tapi juga musti apik memasak.

Meskipun kita sama-sama meyakini umur tak ada yang tahu, cuma tuhan yang bisa tentukan tapi sadarkan kamu anakku bahwa untuk urusan ini sedikitnya kita masih bisa interpensi. Dengan cara yang kubilang tadi.

Jangan jadikan rumah tanggamu dibangun hanya dengan cinta. Cinta itu seperti cuaca, mudah guyah dan berubah-ubah. Hati-hati suamimu akan jatuh cinta dengan wanita lain hanya karena kau tak mahir menjamunya dan mengarahkannya untuk hidup sehat lewat suguhan makanan yang kau ramu sendiri.
***
“Mah, kok melamun saja” ujar suamiku mengagetkan ku. Baru sadar, ternyata aku melamun cukup lama hingga makanan yang kusuguhkan tadi sudah habis dilahap oleh suamiku.


“Ehm,.. eh iya, Pah. Tadi tiba-tiba aku teringat oleh wejangan almarhum ayah mertuamu sebelas tahun silam, yang menasehatiku untuk terus menjaga makananmu agar kita berdua dapat hidup sampai rambut kita sama-sama menutih ditelan waktu. Dan kini, wejangannya terbukti. 




Cerita ini sedang diikutsertakan dalam kuis #CERMAT yang diadakan oleh Penerbit Mizan dengan tema : Hidup Sehat. Bandung, 10 Mei 2015. 

(Cermin) Maafkan aku

            Aku menadah padanya tiap waktu, tak perduli berapa banyak angka nol dibelakang itu. Yang ku tahu adalah kuliahku bisa berjalan lancar alih-alih menunjang prestasiku dikemudian hari. Meskipun pada praktiknya prestasiku tidak sebesar ekspetasiku. Lagi pula mereka tak perduli soal itu, yang penting aku kuliah dengan absensi baik dan ipk tidak pernah dibawah rata-rata, itu cukup aman kurasa. Dengan itu, aku bebas menadah kapanpun kumau.  
            Akan tetapi pernah suatu hari, aku meminta sesuatu yang kurasa sudah hakku. Permintaanku pun tidak lebih besar dari biasanya, juga tidak lebih cepat dari seharusnya. Tapi, mengapa senyum itu tidak kulihat lagi? Bahkan, mata itu tak lagi memandang dengan binar-binar mesra penuh cinta. Yang terlihat hanyalah tatapan lelah. Lelah melihat anaknya meminta setiap waktu, lelah melihat anaknya yang sudah beranjak kepala dua tetapi hanya hidup bergantung pada orangtua. Oh, ini yang kulihat entah benar apa tidak aku tak ingin bertanya.
Agak lama setelah itu, diangkatnya lengan perlahan-lahan dan dilengkungkan lengan itu, dan dimasukannya kedalam sebuah tas berwarna coklat untuk mengambil beberapa cetakan Peruri yang kuminta tadi sembari berkata “sampai kapan kuliahmu ini berakhir?” hela nafasnya panjang dan lebih kencang dari biasanya.  Aku hanya tertegun sambil menatap matanya yang memerah secara tiba-tiba. Dalam benakku, itu adalah pertanyaan yang sudah seharusnya tak perlu aku jawab toh sebenarnya ia sudah tau kapan waktunya aku akan wisuda dan memakai toga.

“Jadi benar dugaan kutadi.” Aku mengujarnya dalam hati dan menyesali duapuluh tahun yang kulewati secara cuma-cuma tanpa berusaha membantu meringankan biaya yang mereka tanggung dengan jumlah buah hati yang lebih dari yang dianjurkan pemerintah kita ini. Agaknya aku harus lebih tahu diri, hidup itu bukan soal hak asasi anak tetapi juga kewajiban anak.  Maafkan aku.


Cerita ini diikut sertakan dalam kuis yang diadakan oleh Penerbit Bentang Pustaka dengan tema Ibu. 

Minggu, 03 Mei 2015

(Cermat) Biarlah cinta kita...

            Sore itu, sepoi angin pantai seolah menyisir rambut yang mulai memutih ditelan usia, menerpa kerut-kerut wajah yang dipahat waktu. Duduk termenung memandang paras wanita belia menjadi hal yang ku damba apalagi wanita ini begitu ku cinta. Hadirnya membuatku hidup berwarna dan selalu mampu mengindera rasa. Manis dan pahit jadi idola, seperti kemesraan yang saling menyakiti? Tanyaku sendiri dalam hati. Ah, aku tidak perduli.

Tak lama ku lirik kearahnya, sedang asik menatap gelap laut malam hari sambil sesekali tersenyum saat kapal nelayan yang didekorasi dengan pernak-pernik lampu lalu lalang dihadapan kami. Barulah saat itu aku menyadari, bahwa hari mulai malam dan aku melewatkan detik-detik tergelincirnya matahari di tengah laut, itu semua ulah garis bibir wanita belia itu.  Senyumnya seperti lorong waktu, membuatku mengenang peristiwa lapuk beberapa bulan lalu saat wanita belia itu masih menjelma menjadi sembilu yang kerap menyayat hatiku dengan sikap dinginnya, saat itu ia masih saja belum berterima dicintai oleh pria seusiaku dan aku pun tak pernah perduli akan benang merah antara kami.


Dan kini bahagianya aku, aku dan dia duduk berdampingan sambil memandang kearah pantai dilantai dua sebuah rumah makan bergaya tradisional dengan suasana yang cukup romantis.Tak jarang kami saling menggulungkan jemari, membuat kemesraan yang saling menyakiti. Tapi siapa perduli. Meski aku ini pria berusia mencapai kepala empat tapi aku masih bisa mengimbangi wanita yang baru mencicipi usia kepala dua ini. Ya, tak dipungkiri perbedaan usia sejauh itu kerap membuat perih hati dan mengazab dijiwa saat kami mencoba memahami arti perasaan ini.  Bertengkar soal hal ini, bukan lagi sekali dua kali. Apalagi jika dipikir-pikir pasti banyak pria muda seusianya lalu lalang dihadapannya, tak jarang menggoda lewat pesan singkat di handphonenya. Aku pun sempat lelah jika membayangkan nantinya ia akan tergoda oleh salah satu diantara mereka. Tetapi lagi-lagi aku selalu menyakini diriku, bahwa cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia. Semoga perasaan dan kesetiaannya tetap begini, sampai keadaan saling mengamini. Atau mungkin, biarlah perasaan ini akan terus memanjang meski perpisahan benar-benar datang.

Kamis, 30 April 2015

(Puisi) Teori Basi



Ku harap hujan turun lebih lama
Agaknya itu yang patut ku damba
Dari pada langit sumringah ditengah tikar airmata
Itu lebih menyakitkan daripada  jatuh cinta
           
Disaat seperti ini, yang aku butuhkan hanyalah aroma
            Bukan mawar ataupun melati
            Aku hanya butuh aroma harum tanah
            Bukan juga berarti aku berharap ada manusia ditaruh dipeti

Aku ingin hujan turun sepanjang hari
Suara gemuruh hujan seperti sorak sorai tepuk tangan manusia
Saat aku tengah bermimpi
Lewat lukisan yang ku buat setiap hari.
           
Saat hujan makin deras langit makin kelam
            Bintang-bintang berjatuhan
            Menjadi dekorasi alami bagi semesta ini
            Membuat adrenalinku berpacu tinggi

Aku ini manusia setengah mati
Hidup dengan banyak saraf-saraf yang yang tak lagi berfungsi
Yang aku andalkan hanya kidalku ini
Meski bau lelah mulai ku ciumi beberapa kali
           
Tak jarang aku duduk diatas sajadah suci
Sekedar untuk menangis atau merintih
Meski ku tau hal itu tidak ada gunanya sama sekali
Jika tak diimbangi dengan sujud dan rukuk berulang kali

            Tetapi gimana lagi
            Yang bisa dilakukan oleh seorang difabel sepertiku hanyalah ini
            Kaki dan tangan sudah tak ku kenali
            Meski aku masih punya kidalku ini
            Bagaimana bisa aku beribadah secara manusiawi

Seringkali aku berpegang pada teori basi
Yang bilang keterbatasan bukanlah penghalang lagi
Nyatanya? Yang merasain toh aku sendiri
Itu teori jangan diubar lagi
           
            Jangan mengimingiku dengan teori-teori basi
            Lebih baik kau beri aku sedikit peluang untuk bermimpi
            Misal, dengan cara kau menangkan karyaku dalam perlombaan kali ini
            Wahai tuan berjas hitam dan kemeja putih

Resahku tak jua menepi
Saat ku tau pengumuman lomba melukis adalah hari ini
Tapi kau membuangku ke benua yang sepi
Saat ku dengar kau memberi koper berisikan lembar yang dicetak di Peruri
Negara macam apa ini?
Kemenangan saja dapat dibeli

            Ingin rasanya ku beri dera pada mu
Wahai tuan yang ku maksud tadi
Namun sayang tuhan hanya menciptakan ku hanya dengan kidalku
Sungguh ironi, jika harus ku kotori kidalku untukmu.


Catatan : 
Puisi ini sedang diikut sertakan dalam lomba di Penerbit Kakaye Publishing.
Dengan tema : Impossible, keterbatasan menjadi tanpa batas
Jakarta 30 April, 2015 

Sabtu, 18 April 2015

(Cermin) Tulislah

Malam itu, aku terbangun dalam tidur ku yang belakangan ini tak nyenyak, ada sesuatu yang hilang dari hidupku, tak ada pesan yang masuk ke inbox ku. Secara gampang, kau boleh menyebut itu adalah kondisi dimana aku resah menanti pesan dari kekasihku. Aku putus asa dengan hubungan kami, sebab terakhir kali kami berkomunikasi, kami membicarakan hal yang membuat dadaku sesak, bisa dibilang aku dan dia sudah tak lagi jadi kita.

Mensiasati jemuku malam itu, aku putuskan mengambil papan qwerty milikku dan ku biarkan jemariku menari diatasnya. Tanpa sadar beberapa lembar telah ku isi penuh dengan rangkaian kata yang ku buat secara bercerita. Ku mulai karir ku dari situ, tak ada yang mengira bahwa tulisan yang ku buat dengan perasaan pilu justru mempertemukanku dengan karirku.

 Sebab itu, Kau tau? Aku pernah berada di posisimu, saat harapan menjadi pegangan, saat semangat tetap membara meski jemu melanda. Yang harus kamu lakukan adalah jangan pernah kenal lelah untuk berkarya, meski tak banyak yang membacanya. Terus berkarya tanpa henti, jangan pikiri tulisan mu berarti atau tidak dikemudian hari. Ujarku kala itu pada seorang anak magang diperusahaanku yang tengah terdiam menatap sampul buku yang ia buat sendiri dengan synopsis yang telah tercantum didalamnya alih-alih sebagai harapan bisa diterbitkan dikemudian hari.